Guru Pukul Murid, Ini Kata Pengadilan HAM Eropa

Standard

 

Trend guru dilaporkan ke aparat penegak hukum karena memukul muridnya semakin marak terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan. Ada yang menilai bahwa aksi melaporkan guru ini sebagai aksi yang lebay. Alasannya, hukuman fisik terhadap murid sudah lazim dilakukan sejak zaman dulu. Sedangkan, yang lain menilai bahwa guru memang harus diingatkan untuk tidak menjatuhkan hukuman fisik ke murid. Kelompok yang terakhir ini biasanya menggunakan satu alasan yang berulang-ulang, Hak Asasi Manusia (HAM).

Di Eropa, perdebatan seperti ini sudah berlangsung sejak tahun 90-an, atau bila ditarik lebih ke belakang, sudah ada pada tahun 70-an. Di artikel ini, saya akan coba membahas dua kasus mengenai hukuman fisik yang dijatuhkan kepada murid sekolah yang kemudian perkaranya diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (the European Court of Human Rights).

Pertama, kasus Castello-Roberts v United Kingdom. Kasus ini dibawa oleh Mrs. Castello-Roberts yang tidak terima anaknya yang berusia tujuh tahun, Jeremy, dihukum fisik oleh kepala sekolah dimana anaknya menimba ilmu. Jeremy dihukum karena dinilai telah melakukan kesalahan dan melanggar disiplin. Memang, Jerremy bersekolah di boarding school swasta yang sangat mengutamakan kedisiplinan.

Lima kali sudah Jeremy melanggar aturan sekolah. Yang paling sering dilanggar oleh anak ini adalah berbicara di koridor sekolah. Di United Kingdom, berbicara dengan suara keras di koridor (gang) memang merupakan hal yang tabu. Dia juga pernah sedikit terlambat saat memasuki jam tidur. Hingga pada Oktober 1985, ketika Jeremy kembali berbicara di koridor dengan keras, kepala sekolah memutuskan menjatuhkan hukuman, yakni memukul Jerremy di bagian pantat sebanyak tiga kali dengan sepatu olahraga bersol karet. Proses pemukulan dilakukan secara tertutup.

Ibu Jeremy, Mrs Castello Roberts melaporkan kasus ini ke pihak Kepolisian setempat. Namun, kasus tidak diproses karena tidak ada bekas luka memar di pantat Jeremy. Ia pun membawa kasus ini ke Pengadilan HAM Eropa, dengan argument bahwa United Kingdom telah melanggar Pasal 3 dan Pasal 8 Konvensi HAM Eropa karena membiarkan hukuman semacam ini berlaku untuk warga negaranya.

Sebagai informasi, Pasal 3 berbicara seputar larangan negara penandatangan Konvensi HAM Eropa untuk melakukan atau membiarkan tindakan penyiksaan (torture), tindakan yang melampaui batas kemanusiaan (inhuman), dan tindakan yang merendahkan martabat (degrading).[1] Mrs Castello Roberts fokus pada isu “degrading” dalam pasal ini. Intinya, degrading adalah level yang paling rendah dalam kategori pasal ini. Selanjutnya, Pasal 8 yang berkaitan dengan hak private warga yang juga perlu dilindungi.

Article 3 (Prohibition of Torture)

No one shall be subjected to torture or to inhuman or degrading treatment or punishment.

Article 8 (Right to Respect for private and family Life)

  1. Everyone has the right to respect for his private and family life, his home and his correspondence
  2. […….]

Lalu, apa kata Pengadilan HAM Eropa terhadap kasus ini?

Pada 1993, akhirnya, Pengadilan HAM Eropa memutuskan tidak ada pelanggaran terhadap “degrading treatment” di Pasal 3 maupun perlindungan hak private di Pasal 8. Artinya, pengadilan menilai bahwa hukuman fisik dengan memukul siswa dengan sepatu olahraga bersol karet masih bisa ditolerir. Meski begitu, putusan ini tidak diambil dengan suara bulat. Lima hakim menyatakan tidak ada pelanggaran, sedangkan empat hakim menyatakan dissenting opinion bahwa ada pelanggaran terhadap larangan tindakan “degrading”.

Tyrer v United Kingdom

Dalam kasus Castello Roberts v UK ini, mayoritas hakim yang menilai tidak ada pelanggaran membandingkannya dengan kasus lawas, Tyrer v United Kingdom. Kasus ini memang kerap menjadi rujukan dan bahan perbandingan ketika menilai sebuah tindakan apakah termasuk ‘degrading’ atau tidak. Kronologi kasus Tyrer v UK adalah sebagai berikut:

Tyrer merupakan remaja tanggung berusia 15 tahun pada tahun 1975. Dia -bersama tiga teman lainnya- dihukum melakukan kekerasan terhadap siswa lain. Kekerasan ini dilakukan karena siswa tersebut melaporkan Tyrer dan kawan-kawan membawa minuman keras (beer) ke area sekolah. Singkat cerita, Tyrer dinyatakan bersalah oleh pengadilan anak wilayah tersebut. Tyrer dijatuhi hukuman tiga kali pukulan dengan batang kayu muda (birch).

Ilustrasi Corporal Punishment (Hukuman fisik). Sumber Foto: www.corpun.com

Ilustrasi Corporal Punishment (Hukuman fisik). Sumber Foto: http://www.corpun.com

Cara memukulnya adalah Tyrer diminta untuk melepas celananya, dan membungkuk menghadap meja di sebuah kantor polisi. Lalu, sang polisi mulai memukul pantat Tyrer disaksikan oleh ayahnya dan seorang dokter. Hukuman dan proses eksekusi ini sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Castletown, Isle of Man (wilayah United Kingdom) saat itu, Setelah hukuman itu, Tyrer jatuh sakit selama seminggu dan kulitnya luka.

Singkat cerita, kasus ini akhirnya dibawa ke Pengadilan HAM Eropa dengan tuduhan melanggar Pasal 3 Konvensi HAM Eropa. Pada 1978, majelis hakim menilai bahwa hukuman semacam itu tidak masuk ke dalam kategori torture (penyiksaan) dalam Pasal 3. Sebab, luka yang dialami oleh Tyrer tidak terlalu parah. Sebuah tindakan diklasifikasikan penyiksaan bila mengakibatkan luka yang sangat parah.

Lalu, majelis hakim menilai ada kemungkinan pelanggaran terhadap “inhuman” dan “degrading” treatment. Akhirnya, mayoritas hakim dalam perkara ini menilai bahwa hukuman semacam ini termasuk ke dalam degrading treatment (merendahkan martabat manusia). Majelis mengakui bahwa biasanya untuk menentukan hukuman itu termasuk “degrading” adalah apakah hukuman dilaksanakan di hadapan banyak orang (secara public). Namun, syarat ini tidak terdapat di dalam kasus Tyrer v UK ini, karena hukuman Tyrer dilaksanakan di sebuah ruangan di kantor polisi. Meski begitu, dalam konteks ini, majelis menafsirkan pelaksanaan hukuman di hadapan public bukan satu-satunya faktor untuk menentukan sebuah hukuman termasuk degrading atau tidak. Pasalnya, bisa saja di mata publik hukuman itu tidak merendahkan, tetapi sebaliknya seseorang yang dijatuhi hukuman semacam ini merasa direndahkan. Untuk kasus ini, syarat degrading akhirnya dinilai telah terpenuhi.

Selain menjelaskan panjang lebar mengenai “degrading treatment”, Pengadilan HAM Eropa juga menciptakan sebuah doktrin “Living Instrument”. Yakni, Konvensi HAM Eropa merupakan instrument yang terus hidup dan berkembang. Boleh jadi, hukuman semacam ini sudah berlaku sejak lama di Isle of Man, tetapi hukuman semacam ini harus ditinggalkan karena negara-negara Eropa lainnya tidak ada lagi yang menerapkan hukuman semacam ini. Jadi, konvensi ini harus ditafsirkan dengan kondisi saat ini.

Putusan ini juga tidak diputuskan secara bulat. Seorang hakim dari tujuh orang anggota majelis menyampaikan “separate opinion”.

Begitu kira-kira kisah kasus Jeremy (Castello Roberts) dan Tyrer yang masing-masing melawan satu negara yang sama, United Kingdom. Bagaimana, menurut pendapat Anda?

[1] Penjelasan mengenai perbedaan ketiga hal ini dibahas di putusan Aksoy v Turki. Saya akan bahas mengenai hal ini kapan-kapan kalau sempat.