Penistaan Agama di Negara-Negara Eropa

Standard

Artikel ini telah dipublikasikan di Harian Republika pada Sabtu, 5 November 2016

“Ah begitu saja diributkan, di luar negeri itu sih hal yang biasa.” Komentar seperti ini atau sejenis sering ditemukan di media sosial ketika mengomentari kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Bagi mereka, Indonesia dianggap “terbelakang” ketika mengurusi urusan dugaan penistaan agama ini, sembari berargumen bahwa negara maju tidak mengurusi masalah sejenis.

Lalu, apakah argumen ini sepenuhnya benar? Tidak jelas memang apa yang disebut kalangan ini sebagai negara “maju”. Namun, faktanya, negara-negara di benua Eropa yang dikenal cukup “maju” dalam melindungi kebebasan berekspresi warganya masih banyak yang menggunakan aturan penistaan agama sebagai salah satu batasannya. Selain itu, Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Eropa, dalam berbagai kasus, menilai bahwa aturan Penistaan Agama di berbagai negara tetap boleh berlaku dan tidak melanggar HAM.

Bila merujuk ke aturan di tingkat hukum nasional-nya, beberapa negara seperti Jerman, Austria, Polandia, Denmark, Irlandia, Italia dan Yunani masih mempertahankan pasal-pasal penistaan agama atau sejenisnya di wilayahnya. Dari yang secara tegas menyebut penistaan agama, hingga yang lebih halus seperti penodaan nilai-nilai relijius.

Sanksi-sanksi terhadap pelaku pun beragam, seperti denda atau penjara. Sebagai gambaran, di Italia dan Irlandia, pelaku penista agama bisa dihukum dengan denda masing-masing senilai 309 euro (Rp 4,3 juta) dan 25 ribu euro (Rp 350 juta). Sedangkan, undang-undang di Denmark, Austria dan Finlandia memberi sanksi pidana beberapa bulan. Di Yunani, bahkan lebih berat, ancaman hukumannya mencapai dua tahun penjara (Mauro Gatti, 2015). Sebagai perbandingan, di Indonesia, ancaman maksimal untuk penistaan agama adalah lima tahun penjara.

Kasus teranyar terkait penistaan agama terjadi di Jerman pada Februari 2016. Seorang pensiunan guru di Jerman dihukum membayar denda 500 euro (Rp 7 juta) karena dinilai telah menista ajaran Kristen dan Gereja Katolik. Jerman memang memiliki undang-undang penistaan agama dengan ancaman hukuman hingga tiga tahun penjara, tetapi sebenarnya aturan ini jarang sekali diterapkan.

Memang, tak bisa dipungkiri bahwa di benua biru itu, ada pula kampanye atau aksi dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mendorong penghapusan hukum penistaan agama. Bahkan, beberapa kasus ada yang sempat mampir ke Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Eropa. Kebanyakan kasus yang datang memiliki pola membenturkan kebebesan berekspresi versus penistaan agama.

Namun, secara garis besar, Pengadilan HAM Eropa – yang dikenal sebagai pengadilan terbesar dan terkuat di dunia yang mencakup 47 negara Eropa, termasuk di antaranya 28 negara anggota Uni Eropa – telah menegaskan bahwa ketentuan mengenai aturan penistaan agama yang ada di beberapa negara itu tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia atau Konvensi HAM Eropa yang menjadi aturan main di sana.

Di kasus Otto Preminger-Institut v Austria (1994), Pengadilan HAM Eropa memberi lampu hijau kepada pemerintah Austria untuk menerapkan aturan pidana, termasuk pembekuan, terhadap film yang dinilai menyinggung perasaan ummat Katolik yang menjadi mayoritas di negara itu. Pengadilan menegaskan bahwa perasaan relijius ummat beragama harus dilindungi terhadap upaya penistaan ajaran agamanya oleh pihak lain. Kebebasan berekspresi tidak bersifat absolut, karena kebebasan ini harus juga dilaksanakan dengan tidak mengganggu “perlindungan terhadap hak individu orang lain”.

Selain itu, pengadilan juga menyatakan seharusnya pernyataan di muka publik tidak boleh membuat populasi publik “shock” secara berlebihan dan juga mengganggu ketertiban umum. Argumen yang sama kembali dibangun oleh Pengadilan HAM Eropa dalam kasus Wingrove v United Kingdom (1996), berkaitan dengan pelarangan film yang dinilai menistakan agama. Lagi-lagi, pengadilan membolehkan pelarangan itu.

Dalam kasus I.A v Turkey (2005), Pengadilan HAM Eropa juga berargumen sama. Kali ini, objek yang dinistakan adalah “Allah, Agama Islam, Nabi Muhammad, dan Al Quran.” Pengadilan menilai tindakan pemerintah Turki yang memenjarakan pelaku penistaan bukan sebagai pelanggaran HAM, khususnya kebebasan berekspresi.

Dari kasus-kasus di atas memang bisa dipelajari bahwa debat seputar aturan penistaan agama masih berlangsung di Eropa. Kebanyakan kasus yang muncul dilakukan oleh individual, bukan (diduga) dilakukan oleh pejabat pemerintahan seperti yang saat ini sedang heboh di Jakarta. Formula aturan penistaan agama dengan segala variannya boleh saja masih terus didiskusikan di negara sekuler dan relijius, tetapi satu hal yang harus disadari adalah bahwa prinsip penegakan hukum berbasis equality before the law, termasuk terhadap pelaku penista agama, adalah harga mati yang telah disepakati oleh negara yang beradab.

index1